Paradoks Cinta

Pernahkah terlintas, apa yang sebenarnya manusia butuhkan dalam hidup ini?
Uang? Cinta? Harapan? Tujuan? Atau, Kesadaran? Atau yang lain?
Ku rasa yang diperlukan untuk setiap insan adalah mengetahui siapa dirinya terlebih dahulu. Siapa kita, dari mana asal kita, sedang apa kita, apa tujuan kita, apa harapan kita.

Cinta? Kita akan menuju pada titik itu, ini memang membahas itu. Tapi tunggu dulu. Kita akan ke sana.

Jika anda pemeluk agama islam, sama seperti saya, maka tentu kita tahu tujuan manusia diciptakan Tuhan hanyalah untuk beribadah, menyembah Tuhan Yang Maha Pencipta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Jadi apapun yang kita kerjakan di dunia ini, hanya untuk ibadah. Di dunia yang hanya sementara ini, dengan kesadaran akan adanya Tuhan yang tidak pernah absen untuk istirahat memantau kita, terlebih malaikat di kanan dan kiri kita yang tak pernah terlewat mencatat seluruh amal baik-buruk kita ini. Dengan kesadaran ini kita akan selalu fokus pada tujuan. Tujuan menyembah kepada Tuhan, beribadah, bentuk cinta kepada Tuhan. Bentuk abdi sebuah ciptaan kepada pencipta-Nya.

Segala aspek di kehidupan ini adalah rangkaian ibadah. Coba perhatikan.
Kita dilahirkan dari pasangan suami istri yang saling mencinta dalam hubungan rumah tangga yang bertujuan ibadah. Kita diberi nafkah, dididik, dibesarkan, dirawat orang tua dengan tujuan mereka beribadah pula kepada Tuhan. Bentuk cinta yang timbul dari orang tua ke anak pun merupakan bentuk cinta manusia kepada Tuhan. Coba refleksikan dengan kisah klasik Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Sang anak rela disembelih jika itu memang perintah Tuhan. Karena cinta kepada Tuhan yang Nabi Ibrahim lakukan lebih besar daripada apapun. silahkan cek QS. Ash-Shaaffaat: 99-111

Cinta kepada Tuhan ini lah dorongan cinta yang sesungguhnya. Menurut hemat saya, dengan memahami dan menyadari bentuk cinta ini, kita akan lebih mudah menjalani hidup. Coba perhatikan kata itu, kata “mudah”. Ya. mudah. Karena sebesar apapun ujian yang Tuhan berikan, dan atau semanis apapun rayuan/bisikan setan, kita akan mampu melaluinya dengan ikhlas dan sabar karena cinta kepada Tuhan. Lagi, dalam bentuk ibadah kepada-Nya. Tunduk kepada-Nya.

Bagaimana dengan bentuk cinta yang biasa kita jumpai di dunia? Dengan orang tua, adik/kakak, keluarga, teman/sahabat, atau pasangan anda? Saya pernah merasakan kehilangan beberapa diantara mereka. Baik kehilangan karena dia menjauh dari circle saya maupun ada juga yang menjauh karena sudah beristirahat dengan tenang di alam barzah. 
Ada satu hal yang saya sadari. Ketidakrelaan yang dulu pernah saya rasakan hanya karena bentuk cinta saya kepada mereka. Duniawi. Semenjak saya ikhlas, sabar, dan menyerahkan kembali hidup saya kepada Tuhan, maka saya menemukan ketenangan jiwa, karena dengan cinta kepada Tuhan, apapun yang sudah Ia takdirkan, tugas kita hanya menerimanya. (Jangan pula kita lupakan perbedaan nasib dan takdir.)

Mari kita breakdown. Contoh cinta kepada sahabat. Sahabat saya laki-laki. Tentu bentuk cinta dalam persahabatan kami bukan cinta romantisme dua sejoli, namun bentuk cinta kepada saudara, seperti kepada kakak/adik sendiri. Bentuk cinta kepada keluarga, untuk saling support dan berbagi. Setelah usainya Ia melawan penyakit keras yang ia alami, suka tidak suka saya harus menerima kepulangan dia ke rumah asalnya, bersama Tuhan. Saat saya sadar bahwa yang saya jelaskan sebelumnya, saya memahami. Kembali lagi kepada tujuan. Tujuan awal. Tujuan dasar mengapa kita ada di dunia ini. Serahkan lagi kepada yang Maha Kuasa.

Bagaimana dengan yang romantisme?
Dahulu saya pernah membuat tulisan, seperti ini juga. Namun tidak saya publikasikan di blog, apalagi diterbitkan oleh percetakan. Belum waktunya juga. Tulisan itu mengenai hakikat cinta kepada pasangan hidup, pasangan lawan jenis, atau yang sering kita cari-cari, jodoh.
Singkatnya, Dari dulu saya percaya bahwa cinta adalah kata kerja. Bukan kata sifat. Karena kita bisa ingin memulai mencinta, kita bisa sedang mencinta, kita juga bisa memutuskan untuk menyudahi cinta, dan akhirnya kita bisa untuk menerima atau menolak untuk mencinta. Mencinta itu tak ayal sebuah kegiatan, cinta itu memiliki bukti nyata. Cinta itu tindakan. cinta itu nyata. cinta itu terlihat.

Coba kita sadari. Kita tumbuh dewasa, belajar, menyayangi orang tua, hidup bersosial, saling toleransi, saling berbagi, membahagiakan orang lain, tolong menolong, gotong royong, bekerja, meniti karier, mencari rezeki, bersedekah, mencari jodoh, hingga menikah seperti jalan yang diambil oleh orang tua kita, semua adalah serangkaian ibadah hingga ini terulang pada anak-cucuk keturunan kita. 

Sadarilah, semua adalah serangkaian ibadah. Bentuk abdi kita kepada Tuhan. Bentuk cinta kita kepada Tuhan. Jadi di hidup ini menurut saya, kita butuh tujuan. Dengan tujuan yang baik, maka cinta akan menjadi bentuk aksi nyata kita yang akan membawa kita hingga mencapai tujuan. Cinta adalah bentuk tindakan yang kita lakukan. Yang menjadikannya kata kerja. Yang menjadikannya terdapat dalam setiap nafas kita.

Ada kekeliruan yang ternyata sudah lama saya terjebak di dalamnya. Meskipun dulu sempat saya disadarkan dengan kilatan-kilatan cahaya penerang kebenaran, namun belum mampu buat saya sadar. namun alhamdulillah kini saya sadar.

Begini bedanya. Dulu saya mencari wanita, calon pasangan saya dengan cinta duniawi yang berlebihan, yang sekarang saya anggap fana :)
Dahulu, kemarin, saya mencinta dengan sepenuh hati dengan segenap jiwa rela berkorban apa saja hanya untuk kebahagiaan wanita itu. Saya berikan semua, totalitas, dan dengan hati yang paling dalam, tulus dan ikhlas. 
Apa itu salah? Dulu, kemarin, saya anggap itu suatu yang wajar dan sah-sah saja. Terlebih karena memang seharusnya begitu adanya bagi orang yang sedang jatuh cinta, saling berbagi cinta, saling mencinta. Memberikan segalanya yang kita mampu untuk membahagiakan pasangan kita.  
Namun sekarang saya sadar. Saya dan mungkin kita semua terlalu cepat melebelkan "pasangan"  pada orang terdekat kita, gebetan kita, pacar kita. Apa yang salah? Yang namanya pasangan adalah seseorang yang berada bersama kita, hidup bersama kita, menjadi partner hidup kita saat Ijab Qabul selesai dilaksanakan. Itulah pasangan kita. Jadi jika belum sahnya ijab qabul terlaksana, itu bukan pasangan kita. Itu calon kita, calon pasangan. Ini hal kedua yang baru saya sadari setelah makna ibadah dalam hidup.

Mengenai cinta kepada lawan jenis, Cintailah pasanganmu setulus hati karena Allah, maka akan menjadi ibadah. Ingat! Pasangan adalah seseorang yang Allah titipkan kepada kita setelah ijab qobul. Pahami dulu di sini niatnya beribadah, jadi apapun yang terjadi ke depan akan kita lalui dengan tunduk patuh akan aturan-aturan Tuhan.

Jadi jika ditanya, bagaimana cara saya mencari jodoh saya? Apakah dengan ta’aruf?
Saya melihat diri saya sekarang akan memulai mencari jodoh saya dengan lebih bijaksana. Mungkin taaruf, namun taaruf yang sesuai syariat Islam, dengan tukar-menukar biodata, lalu saling cross check, lalu fit and proper test, dan jika terasa cocok lebih dari 85% bisa dilakukan nazhor atau khitbah sekaligus sebelum menyelenggarakan akad.
"Kalau mau nasi, kenapa cari beras?"
Jika makanan pokok anda harus makan nasi, kenapa harus cari beras yang harus kita proses dulu sendirian. Kenapa tidak langsung cari nasi dari beras yang bagus, yang pulen, dan pastinya sudah matang dan siap saji?
Memulai rumah tangga itu seperti menaiki bahtera yang besar di lautan luas, jika masih harus mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) saat sedang membelah samudra, pasti akan merepotkan. PR seperti apa? Karakter. Jika ada karakter dari calon pasanganmu yang kamu perkirakan akan merepotkanmu dan kecil kemungkinan untuk dirubah, maka carilah calon lain.

Tentu tahap tersebut bisa kamu lalui saat fase pendekatan (taaruf) dengan si dia. Jika cinta yang kita lakukan kepada calon tidak dalam, tidak akan adanya kegalauan atau keresahan di hati pada saat memilih untuk meninggalkannya, karena balik lagi, hidup ini semua hanyalah proses ibadah, dan pasanganmu lah yang nanti akan menjadi “media” beribadah sepanjang akhir hayatmu, jadi super selektiflah memilih pasangan, agar dapat jalan beriringan menuju tujuan hidup, beribadah, menyembah Tuhan.

Jadi hemat saya, sadari dirimu berada dimana sekarang. Pahami tujuanmu. Tujuan hidupmu. Baru setelah itu kamu akan mampu mencintai pasanganmu, pasangan yang sah setelah melewati proses ijab qabul yang sah dengan setulus hati, segenap jiwa, hingga tetes darah terakhirmu dalam upaya menjaga dan membahagiakannya. Dimana semua bentuk cinta yang kamu suguhkan kepada pasanganmu adalah refleksi dari bentuk cinta kepada Tuhan – dalam niatan beribadah kepada Allah SWT.

Jadi, apapun yang akan terjadi dengan pasanganmu, kamu akan tenang dan ikhlas, karena semua adalah rangkaian dari ibadah. Jika belum ijab qabul, jangan bodoh dalam mencinta, nanti kau akan sakit sendiri :)

Semoga membantu. :)

Popular posts from this blog

SMJ #4 - Nukilan Sandungan

SMJ #2 - Cinta yang (tak) usai

10 September - Hari Pencegahan Bunuh Diri Dunia